Korupsi Sektor Swasta

Pada dasarnya korupsi adalah kejahatan kerah putih yang dapat terjadi kapan dan di mana pun sepanjang insentif untuk melakukannya sangat besar. Penyakit ini adalah salah satu bentuk dari gejala penyimpangan kekuasaan yang bisa dilakukan siapa pun dan di sektor mana pun, baik pejabat publik, sektor swasta, maupun di tingkat masyarakat.

Sebagai contoh, suap kepada tokoh agama oleh kandidat dengan tujuan agar para pendukung dari tokoh agama itu dimobilisasi untuk mendukung kandidat tersebut dalam kontestasi politik adalah bentuk korupsi. Suap dan kolusi antara dokter dengan perusahaan obat sehingga dokter hanya mau ”menjual” obat produksi tertentu saja kepada pasien adalah korupsi. Demikian halnya calon ketua umum partai politik (yang tidak menyandang jabatan publik sekalipun) menggelontorkan uang kepada pengurus inti parpol di berbagai tingkatan agar terpilih menjadi ketua umum partai tersebut adalah korupsi.

Dengan demikian, dari sisi substansi korupsinya, semestinya tidak ada perbedaan perlakuan hukum hanya karena berbeda status pelakunya. Namun, korupsi sektor swasta, misalnya, masih tak terlalu dikenal dalam literatur sosial, politik, ataupun hukum di Indonesia. Dalam perspektif legal-formal, kita hanya mengenal kejahatan korupsi pada sektor publik, yakni segala perbuatan atau jenis korupsi yang diatur dalam UU No 31/1999 dan UU No 20/2001 mengenai Tindak Pidana Korupsi, di mana pusat dari perhatiannya pejabat publik/pegawai pemerintah/pegawai negeri sipil.

Korupsi dalam pengertian UU ini didefinisikan sebagai perbuatan pejabat publik yang menyalahgunakan jabatan, wewenang, dan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi dan berakibat pada kerugian negara. Sementara sektor non-negara (swasta) atau pelaku swasta hanya bisa diseret atau jadi bagian dari obyek pidana jika mereka terlibat secara langsung dalam korupsi yang melibatkan pihak pertama (sektor pemerintah) atau jika mereka melakukan perbuatan yang berakibat pada kerugian negara.

Bias perspektif kapitalisme

Dalam teori klasik, korupsi adalah persoalan hubungan asimetris antara principal dan agent. Di sini principal diasumsikan sebagai publik yang merepresentasikan kepentingan publik luas, sementara agent adalah pegawai negeri/pejabat negara atau politisi yang memiliki kecenderungan berperilaku menyimpang (korupsi) karena keuntungan yang diperoleh dari kejahatan itu lebih besar dari ongkos yang harus ditanggung.

Pada saat bersamaan, para agent ini memiliki informasi lebih yang bisa ditransaksionalkan demi keuntungan pribadi dibandingkan principal yang diasumsikan memiliki keterbatasan akses informasi rahasia yang berhubungan dengan alokasi sumber daya ekonomi ataupun politik. Asumsi lainnya, principal secara alamiah memiliki peran untuk mengontrol korupsi, sementara agent dianggap sebagai pusat dari masalah korupsi (Anna Persson, dkk, 2013).

Teori ini secara umum ada benarnya, terutama jika diterapkan pada situasi dan konteks tertentu. Namun secara khusus, penerapan teori ini sulit diterima jika korupsi yang terjadi sudah sangat masif dan sistematis, serta telah melibatkan berbagai pihak. Karena level korupsi yang berbeda-beda, tentu pendekatan untuk memberantasnya juga perlu berbeda. Teori principal-agent punya keterbatasan karena asumsi yang dibangun kurang relevan dalam konteks Indonesia, sementara bangunan aturan hukum mengenai korupsi sedikit banyak dipengaruhi teori ini.

Selain pengaruh dari teori di atas, keyakinan bahwa korupsi semata persoalan penyimpangan perilaku birokrasi pemerintah atau negara juga dibawa oleh ideologi pasar bebas. Para penganjur pasar bebas sangat percaya bahwa pasar (sektor swasta) akan selalu mencapai level efisiensi yang paling tinggi sehingga mereka akan selalu berlawanan dengan bujukan korupsi. Hal ini mengingat korupsi berasosiasi dengan buruknya efektivitas dan efisiensi, terutama dalam rangka mencapai akumulasi modal.

Privatisasi, sebagai contoh, merupakan langkah terbaik untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan monopoli negara yang pada praktiknya kerap dituding penuh dengan korupsi, penyimpangan, dan berbagai macam praktik penyalahgunaan kekuasaan lain yang berujung pada tidak kompetitifnya BUMN dan membuat tidak bekerjanya mekanisme pasar secara sempurna. Sektor swasta, dalam asumsi privatisasi, akan dapat menghilangkan praktik-praktik korupsi itu.

Konsekuensi

Bangunan hukum mengenai korupsi yang berangkat dari dan atau dipengaruhi sebagian besarnya oleh teori dan asumsi di atas membawa konsekuensi yang serius dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sudah bisa dipastikan, dalam strategi penegakan hukum, institusi penegak hukum—khususnya KPK—tak sanggup menjangkau entitas lain di luar yang telah diatur oleh UU Tipikor dan limitasi dalam UU KPK.

Padahal, secara faktual korupsi ada di sejumlah tempat, melibatkan beberapa pihak, tanpa hanya dimonopoli oleh sektor negara. Oleh karena itu, wajar jika KPK kemudian tampak gamang ketika diminta melakukan pengawasan dalam Munaslub Partai Golkar beberapa waktu lalu. Alih-alih isu korupsi yang muncul, secara umum adanya isu gelontoran uang dalam kandidasi internal partai mana pun lantas dimaknai sebagai biaya politik.KPK juga tampak harus bersusah payah mencari justifikasi hukum agar dapat mengambil peran dalam dugaan skandal ”suap” oleh perusahaan farmasi kepada rumah sakit/dokter yang pernah terungkap beberapa waktu lalu, karena yang harus dipastikan adalah ada tidaknya unsur penyelenggara negara atau pegawai negeri. Sementara praktik yang diyakini dalam dunia medik kita ini dipahami banyak pihak itu bukan sebagai korupsi.

Jika garis batas antara korupsi dan yang lain (legal) adalah karena pelakunya pejabat publik atau bukan, sementara perbuatan itu dapat terjadi kapan dan di mana pun, tentu ada yang keliru dari legal framework anti korupsi yang selama ini kita anut dan pahami. Fokus pada sisi permintaan korupsi sebagaimana asumsi dari pendekatan teori principal-agent membuat agenda pemberantasan korupsi absen untuk melihat sisi penawaran korupsi. Walhasil, negara sibuk memperbaiki tata kelola pemerintahan supaya lebih kuat melawan korupsi, tetapi ekosistem lain yang ada di sektor swasta tidak pernah ”dipaksa” berubah.

Faktanya, negara lain yang berhasil melawan korupsi, seperti Hongkong atau Singapura, komisi anti korupsi mereka punya wewenang yang lebih komprehensif karena juga diberi mandat untuk memberantas korupsi di sektor swasta. Pendekatan ini juga segaris dengan apa yang sudah diatur dalam UNCAC (Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi) di mana kriminalisasi korupsi sektor swasta secara mandatori harus diadopsi negara peserta. Indonesia telah meratifikasi konvensi itu sejak 2006, tetapi sampai detik ini kita tidak melakukan apa pun untuk menyesuaikan dengan standar internasional pemberantasan korupsi.

ADNAN TOPAN HUSODO, KOORDINATOR INDONESIA CORRUPTION WATCH (ICW)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Korupsi Sektor Swasta".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan