Yusril Curiga Ada Konspirasi oleh Ketua Tim Penyidik Farid Hariyanto

Yusril Ihza Mahendra terus mengungkap kejanggalan atas penetapan dirinya sebagai tersangka dugaan korupsi biaya akses sistem administrasi badan hukum (sisminbakum). Setelah mempermasalahkan legalitas jabatan jaksa agung, mantan Menkeh HAM itu melontarkan tudingan tidak sedap kepada penyidik.

Yusril mencurigai adanya konspirasi oleh Ketua Tim Penyidik Farid Hariyanto untuk memprovokasi dalam penyidikan kasus sisminbakum. Menurut dia, banyak jaksa senior yang semula menganggap bahwa kasus sisminbakum bukan kasus korupsi. ''Namun, jaksa Farid belakangan (diduga) memaksakan kasus tersebut diteruskan sebagai kasus korupsi,'' kata Yusril kemarin (7/7).

Menurut Yusril, kasus sisminbakum sebenarnya telah mereda sejak Farid dipindahkan sebagai Wakajati NTB dan Kajati NTT. Nah, saat Farid kembali berdinas di Gedung Bundar sebagai direktur penuntutan pada JAM Pidana Khusus akhir Mei 2010, kasus sisminbakum dibuka lagi. ''Saya curiga jaksa agung jatuh dalam permainan Farid,'' kata Yusril.

Yusril menegaskan, tidak ada kerugian negara dalam kasus sisminbakum. Sebab, notaris telah membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 200 ribu sesuai dengan peraturan pemerintah (PP) yang disetor langsung ke kas negara. Sedangkan biaya akses bukan pungutan liar karena dari pengurusan badan hukum sejak awal dikenai PPN.

Sejak sisminbakum dikelola oleh Kemenkum HAM, lanjut Yusril, biaya akses masuk sebagai PNBP sebagaimana diatur dalam PP No 38/2009. ''Ini merupakan suatu legitimasi bahwa akses fee bukanlah PNBP sebelum dikeluarkannya PP No 38. Hasil pemeriksaan BPKP juga menunjukkan tidak ada kerugian negara,'' tambah Yusril.

Di tempat terpisah, jaksa Farid menegaskan tidak mau berpolemik dengan Yusril atas tudingan adanya konspirasi. ''Saya sih EGP saja, emang gue pikirin,'' kata Farid kemarin. Dia membantah ikut mengintervensi proses penyidikan karena selama di Gedung Bundar bertugas sebagai direktur penuntutan yang tidak terkait dengan proses penyidikan.

Menurut Farid, kejaksaan berpegang pada isi putusan pengadilan dalam membuka lagi kasus sisminbakum. Yakni, menganggap bahwa ada korupsi dalam kasus sisminbakum.

Pada bagian lain, penyidik kejaksaan kemarin melanjutkan pemeriksaan saksi untuk tersangka Yusril dan Hartono Tanoesoedibjo. Kali ini yang diperiksa sebagai saksi adalah mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Romli Atmasasmita. Dia juga tercatat sebagai salah seorang terdakwa kasus sisminbakum.

Juniver Girsang, kuasa hukum Romli, mengatakan bahwa materi pemeriksaan terhadap Romli, antara lain, berkaitan dengan peran Yusril dalam kebijakan sisminbakum. ''Ditanya peran Yusril di mana,'' kata Juniver setelah mendampingi pemeriksaan Romli di Gedung Bundar kemarin.

Dia mengungkapkan, selain peran Yusril, pertanyaan seputar asal mula adanya sisminbakum. ''Sejak awal sudah menjadi proyek yang harus diselesaikan, mengingat banyak keluhan masyarakat nasional maupun internasional bahwa pengurusan dan pengesahan (badan hukum) sangat bertele-tele dengan biaya yang tidak jelas,'' urai Juniver.

Dalam pemeriksaan, lanjut Juniver, pihaknya kembali menanyakan tentang surat asli perjanjian 25 Juli 2001 antara Ditjen AHU dan Koperasi Pengayoman tentang pembagian dana biaya akses. Sebab, berdasar surat itu, Romli divonis bersalah dan dihukum 2 tahun penjara di tingkat pengadilan negeri, kemudian menjadi 1 tahun di tingkat banding.

Namun, surat yang diminta itu tidak ada. Romli beberapa waktu lalu telah membuat laporan ke Polda Metro Jaya tentang tindak pidana pemalsuan. ''Tersangkanya Pak Basuki (ketua koperasi, Red). Dengan demikian, sebetulnya dakwaan (Romli) cacat hukum,'' kata pengacara senior itu.

Di tempat yang sama, Romli Atmasasmita juga mengungkapkan ada rekayasa dalam kasus sisminbakum. Misalnya, penetapan dirinya sebagai tersangka pada November 2008 dan bukti surat perjanjian palsu. ''Sekarang Yusril dan Hartono (pengusaha Hartono Tanoesoedibjoe, Red) tiba-tiba menjadi tersangka. Seharusnya sudah (tersangka) bersama-sama dengan saya. Ini ada apa? Pasti rekayasa,'' ungkapnya.

Bukti-bukti dalam kasus itu dinilai tidak jelas, seperti kerugian negara. Seharusnya, audit dilakukan BPK dan BPKP. ''Kok sekarang (kejaksaan) bisa menghitung sendiri ada kerugian negara? Yang saya sayangkan, hakim di pengadilan juga sama, bisa menghitung sendiri kerugian,'' keluh guru besar Universitas Padjadajaran itu.

Romli mengatakan kejaksaan tidak independen dalam menangani perkara itu. Dia mencontohkan, seseorang yang seharusnya menjadi tersangka tidak ditetapkan sebagai tersangka. Namun, setelah ada campur tangan pihak lain, baru kejaksaan menetapkan sebagai tersangka. (fal/c4/agm)
Sumber: Jawa Pos, 8 Juli 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan