Investasi Pengusaha di Partai Politik dan Calon Legislatif dan Eksekutif

Kontan (No. 25-XIII 2009) melaporkan bagaimana kalangan pengusaha menerapkan prinsip portofolio dengan berinvestasi pada beberapa partai politik dan calon legislatif maupun eksekutif. Tujuannya mengamankan kepentingan bisnisnya, siapapun yang berkuasa.

Bagaimana sebenarnya anatomi strategi politik kalangan bisnis? Bagaimana pula cara pengusaha memaksimalkan portofolio investasi politik mereka?

Cash and Carry
Baysinger (1984), peneliti strategi politik perusahaan, menyebutkan tiga tujuan kegiatan politik perusahaan: pertama, domain management, mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintah yang bisa merugikan pihak lain, seperti proyek, lisensi, konsesi, atau subsidi. Tempointeraktif.com (16/01/07) menyebutkan sekitar 70% anggota HIPMI bergerak di pasar konstruksi APBN dan APBD. Ketergantungan ini seringkali bercirikan hubungan transaksional yang ekstrim, cash and carry, kalau perlu kickback untuk eksekutif atau legislatif.

Kedua, domain defense, menghilangkan ancaman atas legitimasi tujuan perusahaan. Contohnya adalah Indonesia yang tak kunjung meratifikasi Framework Convention of Tobacco Control karena lobi perusahaan rokok dan di sisi lain Pemerintah takut kehilangan pendapatan cukai rokok.

Ketiga, domain maintenance, melonggarkan regulasi eksesif atas metode kerja perusahaan, yang dulunya otonom tetapi kemudian diatur pemerintah dan costly, seperti aturan lingkungan atau ketenagakerjaan. Contohnya seperti lobi Kadin dan gugatan ke MK atas kewajiban CSR pada UU Perseroan Terbatas agar tetap menjadi kesukarelaan perusahaan.

Di negara yang sistem politiknya lebih akuntabel, strategi politik terutama dilakukan dalam domain defense, seperti industri energi Amerika yang menentang Protokol Kyoto tentang pemanasan global agar legitimasi mereka tidak terganggu, serta domain maintenance, seperti lobi industri mobil Amerika atas aturan energi terbarukan. Lobi untuk mendapatkan proyek, domain management, juga ada, seperti dukungan perusahaan energi kepada GW Bush dalam kampanye presiden 2004 agar mendapatkan konsesi di Irak. Semuanya dilakukan dalam koridor dana kampanye yang legal.

Dua Strategi
Dalam prakteknya, kalangan bisnis dapat memilih empat strategi politik (Hilman, 1995): Pertama, secara aktif memberikan informasi yang menguntungkan perusahaan melalui riset atau publikasi. Kedua, memberikan insentif keuangan, legal seperti menyumbang dana kampanye sesuai UU partai dan pemilu, maupun ilegal seperti yang terjadi pada kasus Abdul Hadi Jamal. Ketiga, membuka akses personal ke pengambil keputusan dengan menempatkan pejabat perusahaan di jabatan publik atau menunjuk mantan pejabat publik sebagai pejabat perusahaan. Keempat, membangun konstituen melalui kegiatan hubungan masyarakat.

Pemilu membuka kesempatan bagi sektor bisnis untuk membuat portofolio investasi politik dengan melakukan strategi insentif keuangan dan akses personal. Dengan menyumbang dana ke partai atau calon eksekutif dan legislatif (insentif keuangan), atau menempatkan pejabat perusahaan pada jabatan publik, eksekutif atau legislatif (akses personal), maka akses ke domain management, defense dan maintenance akan lebih terjamin.

Portofolio mereka disesuaikan dengan nature dari perusahaan (ukuran, peran pemilik, pasar utama dan pembiayaan).
Pertama, perusahana kelas menengah yang dicirikan dengan owner-manager, mulai berhubungan dengan bank, serta pasar utamanya adalah kontrak dengan APBD. Strategi politiknya terbatas pada mencalonkan diri atau mendukung calon di DPRD daerah dan eksekutif daerah, maupun menjadi pengurus berbagai organisasi sosial yang mempunyai hubungan dengan pemerintah, seperti Kadin atau HIPMI. Koneksi politik akan menjamin proyek dan pembiayaan dari bank daerah.

Kedua, perusahaan besar skala regional, masih bertipe owner-manager, tetapi sudah mempekerjakan staf profesional. Eksposur ke bank nasional cukup besar dan punya kontrak dengan pemerintah pusat maupun provinsi. Owner-manager mulai mencalonkan diri, mendukung calon gubernur, DPR provinsi maupun pusat. Tujuannya mengamankan kontrak dengan APBN atau APBD provinsi, maupun pembiayaan. Bagi pengusaha etnis minoritas biasanya terbatas mendukung calon saja karena popularitas dan elektabilitas rendah.

Ketiga, perusahaan bertipe enterprise, konglomerasi nasional, dengan eksposur besar ke bank BUMN dan pasar modal, dan sampai derajat tertentu punya ketergantungan pada lisensi atau kontrak pemerintah pusat, seperti proyek public-private partnership, maupun iklim bisnis yang menguntungkan. Ini dicirikan dengan pemilik yang berkonsentrasi pada strategi politik insentif keuangan dan akses personal tingkat nasional, seperti mencalonkan diri sebagai wakil presiden, berusaha menjadi menteri, anggota DPR dan pejabat penting DPP partai, serta membuat portofolio sumbangan ke berbagai pihak yang diperkirakan akan menjadi decision makers.

Perusahaan dengan koneksi politik kuat secara empiris akan memperoleh manfaat langsung dan tidak langsung, seperti keuntungan informasi, akses ke pengambilan keputusan, perluasan pengaruh, citra dan prestise, mengurangi ketidakpastian dan biaya transaksi.

Yang perlu diwaspadai adalah jika kalangan bisnis lebih peduli dengan strategi politik untuk mengamankan bisnis mereka, dan menomorduakan strategi bisnis dan core competence, maka sektor bisnis akan tetap menjadi jago kandang yang mengandalkan proyek atau proteksi pemerintah, serta gagap ketika berkompetisi secara global.

Agam Fatchurrochman, Pengamat strategi politik perusahaan

Tulisan ini disalin dari Kontan, 1 April 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan