UU BHP Melanggar Konstitusi

bacaSelasa, 24 Maret 2009 pukul 14.00 WIB, Koalisi Pendidikan yang diwakili oleh kuasa hukum mengajukan judicial review UU BHP ke Mahkamah Konstitusi.
Berikut adalah release yang dibuat oleh Koalisi.

Untuk keterangan lebih lanjut terkait dengan permohonan JR tersebut, silahkan menghubungi Taufik Bashari selaku Koordinator Tim Advokat (Hp 0815 86477616) atau Lody Paat selaku Koordinator Koalisi Pendidikan dan juga pemohon (Hp 0818710 505 atau 081311064512)

Pernyataan Pers Bersama
UU BHP LANGGAR KONSTITUSI

Meskipun dinilai kontroversial dan banyak ditolak banyak kalangan dunia pendidikan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan RUU BHP (Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan) menjadi Undang-undang pada tanggal 17 Desember 2008 (selanjutnya menjadi Undang-Undang No 9 Tahun 2009).

Jika dicermati secara lebih mendalam, jiwa dan semangat Sistem Pendidikan Nasional yang didasarkan pada Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) bertentangan dengan Paradigma Pendidikan menurut UUD 1945. Selain itu terdapat alasan mendasar mengapa UU BHP harus ditolak.

Pertama, Mereduksi Kewajiban Konstitusional dan Tanggung Jawab Negara untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang dapat mencerdaskan seluruh bangsa yang syarat utamanya adalah seluruh warga negara tanpa terkecuali memiliki akses pendidikan.

Kedua, BHP UU BHP telah mendorong komersialisasi dan liberalisasi pendidikan.  Dengan membawa para pelaku penyelenggara pendidikan sebagai pelaku pasar, maka  Pemerintah yang seharusnya menjadi faktor utama dalam penyelenggaraan pendidikan hanya ditempatkan menjadi fasilitator.

Ketiga, UU BHP Memposisikan “Modal” Sebagai Mitra Utama Penyelenggaraan Pendidikan. Jika dianalisis lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam UU BHP dalam kaitannya satu sama lain memiliki satu benang merah yang menunjukkan bahwa dengan BHP maka “modal” menjadi faktor utama dalam menyelenggarakan pendidikan. UU BHP menekankan pada tata kelola keuangan untuk sebagai dasar mengembangkan pendidikan.

Keempat, BHP dan UU BHP Memberatkan Masyarakat dan/atau Peserta Didik. Bagaimana dengan warga negara yang miskin namun tidak berprestasi? Selamanya kelompok warganegara ini tidak akan mendapatkan akses pendidikan yang layak yang pada akhirnya tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tidak tercapai.

Kelima, BHP Mempersempit Akses Warga Negara untuk Mendapatkan Pendidikan. Biaya pendidikan yang mahal dan berorientasi pada modal akan menghalangi akses pendidikan untuk berbagai kalangan yang tidak mampu. Meskipun UU BHP memberikan kuota bagi masyarakat miskin, namun ternyata “jatah” tersebut adalah untuk orang-orang miskin yang berprestasi.

Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangan Putusan No 021/PUU-IV/2006 telah memberikan catatannya yakni agar undang-undang mengenai badan hukum pendidikan sesuai dengan UUD 1945 harus memperhatikan empat aspek antara lain (1) aspek fungsi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kewajiban negara dan pemerintah dalam bidang pendidikan, (2) aspek filosofis yakni mengenai cita-cita untuk membangun sistem pendidikan nasional yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan bangsa, aspek sosiologis yakni realitas mengenai penyelenggaraan pendidikan yang sudah ada termasuk yang diselenggarakan oleh berbagai yayasan, perkumpulan, dan sebagainya, serta aspek yuridis yakni tidak menimbulkan pertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan badan hukum;

(3) aspek pengaturan mengenai badan hukum pendidikan haruslah merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan, sehingga tidak memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik; dan (4) aspek aspirasi masyarakat. Namun kenyataannya, jiwa UU BHP tidak memperhatikan aspek-aspek tersebut dan pada akhirnya bertentangan dengan jiwa dan semangat UUD 1945.

Dengan penyelenggaraan sistem pendidikan seperti ini maka kami para pemohon yang terdiri dari mahasiswa, orang tua murid, dan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pendidikan akan menghadapi kondisi sistem pendidikan yang tidak mengarah pada upaya mensejahterakan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berdasarkan uraian diatas kami meminta Mahkamah Konstitusi: 

  1. Menyatakan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang No 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan Konstitusi (UUD 45), khususnya Pembukaan UUD 1945, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 28 C ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 E ayat (1) serta Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945.
  2. Menyatakan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang No 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.


MASYARAKAT TITIPKAN MASA DEPAN PENDIDIKAN INDONESIA KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI.

Pemohon
Yura Pratama Yudhistira (Mahasiswa), Fadiloes Bahar (Guru), Lodewijk F Paat (Dosen), Jumono (Orang Tua Murid), Zaenal Abidin (Pegawai Swasta), Yayasan Sarjana Wiyata Tamansiswa Yogyakarta, Sentra Advokasi Untuk Hak Pendidikan Rakyat (SAHdaR) Medan, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) “Qaryah Thayyibah” Salatiga, Serikat Rakyat Miskin Kota Jakarta
 
Tim Advokat Koalisi Pendidikan
Taufik Basari, S.,H. S.Hum, LL.M (Koordinator Tim Hukum), Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., Ricky Gunawan, S.H., Wahyu Wagiman, S.H., Dr. Andri G. Wibisana, S.H., LL.M, Dhoho Ali Sastro,  S.H., Virza Roy Hizzal, S.H., M.H., Intan Kumala Sari, SH, Indriaswati D. Saptaningrum, S.H., LL.M, Emerson Yuntho, S.H., Illian Deta Arta Sari, S.H., Febri Diansyah, S.H.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan