Mengurai Benang Kusut Listrik Rakyat

Listrik merupakan kebutuhan vital bagi masyarakat tak terkecuali di Indonesia. Perusahaan Listrik Negara (PLN) merupakan perusahaan milik negara yang mengelola penyediaan listrik dan menyelenggarakan pelayanan terhadap kebutuhan energi listrik terutama untuk kebutuhan penerangan bagi masyarakat luas. Namun sangat disayangkan, listrik yang merupakan kebutuhan hajat hidup masyarakat banyak, belum dapat dinikmati oleh banyak masyarakat, terutama yang tinggal di pedalaman dan dan daerah perbatasan dengan negara lain.

Masalahnya, apakah PLN yang telah diberi mandat oleh negara tersebut memang tidak mampu menyediakan kebutuhan listrik rakyat karena kemampuannya yang terbatas, ataukah terjadi penyimpangan dalam mengelolanya?

Dua kemungkinan ini bisa terjadi. Namun dengan mencuat nya beberapa kasus korupsi ditubuh PLN seperti kasus korupsi pengadaan gardu listrik yang menyeret mantan Dirut PLN Dahlan Iskan, bisa jadi penyimpangan pengelolaan listrik negara ini sangat besar sumbangannya terhadap permasalahan di atas.

Bila kita coba urai masalah ini, maka ketidaktersediaan listrik terutama di daerah-daerah terpencil salah satunya adalah adanya penyimpangan dalam pengelolaaanya. Baik dari sisi proses produksinya hingga penyaluran atau penyediaan listrik, banyak terjadi penyimpangan. Misalnya banyak terjadi mark up harga dan volume batu bara yang menjadi bahan bakar pembangkit. Kemudian pembangunan gardu induk juga sering terjadi markup atau penggelapan. sampai kabel penghantar listrik pun juga dikorupsi. Hal ini terbukti dari banyaknya pejabat dan rekanan PLN yang ’bermain’ proyek masuk ke dalam bui. PLN yang menjadi lahan basah bagi para oknum baik pejabat PLN di pusat maupun di daerah, karyawan PLN, rekanan, sampai pada politisi. Kasus-kasus korupsi banyak tersidik oleh Kejaksaan, kepolisian bahkan KPK.

Menurut koordinator riset Indonesia Corruption Watch (ICW)  Firdaus Ilyas, hal ini tidak terlepas dari karakteristik PLN sebagai industri penyedia kebutuhan listrik negara. Selain itu, PLN sering kali menjalankan proyek dengan nilai yang tidak sedikit. Seperti hal nya belanja barang (kapital industrial) dan pengadaan barangnya mencapai 300-400 triliun rupiah pertahun nya, yang digunakan untuk penyediaan infrastruktur, peningkatan layanan, dan terkait kebutuhan listrik nasional.

Tidak heran jika PLN sebagai sebagai tangan panjang penyalur listrik yang merupakan kebutuhan dasar rakyat dan sekaligus mengerjakan proyek dengan nilai miliaran sampai triliunan rentan dikorupsi. Tetapi, bukan hanya listrik saja, dari pantauan ICW sektor energi lainya juga rawan dikorupsi seperti energi batu bara, migas, dan energi konvensional lainya.

"Putaran uang baik yang bersumber dari PLN maupun yang bukan dari PLN jumlahnya tidak sedikit, hal tersebut rawan diselewengkan,” katanya kepada antikorupsi.org

Dari sumber yang dimiliki antikorupsi.org, PLN merupakan perusahaan BUMN terbesar di Indonesia yang sering memiliki proyek dengan nilai mencapai Rp 40 triliun perproyek. Maka penyimpangan itu terjadi karena masih carut-marut nya payung hukum di Indonesia sebagai panduan PLN dalam menjalankan mandat negara tersebut. Selain itu banyak proyek-proyek yang ‘lolos’ disebabkan regulasi yang ada berpotensi mendorong untuk melakukan penyimpangan. Tumpang tindih regulasi menyebabkan hilangnya arah bagi para pejabat PLN yang ingin membuat terobosan kebijakan.

Misalnya regulasi yang buruk terjadi pada kasus korupsi juga menjerat mantan Dirut PLN Dahlan Iskan. Saat itu dirinya membangun gardu listrik guna menjawab keluhan 1 juta masyarakat pelanggan agar mendapat aliran listrik. Akibat dari regulasi yang ada tidak mewadahi untuk melakukan trobosan, maka dianggap oleh  penegak hukum (kejaksaan) melakukan korupsi.


Pola Korupsi di PLN

Ada beberapa pola korupsi yang terjadi di PLN, mulai dari penyimpangan dengan memanfaatkan celah kebijakan, sampai markup dan penggelapan berbagai macam proyek pengadaan alat pembangunan pembangkit listrik.

Di sisi kebijakan, potensi korupsi bukan hanya datang dari internal PLN, tetapi juga kebijakan stakeholder lainnya yang langsung bersinggungan seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian BUMN. Untuk menghasilkan energi listrik, tentunya PLN mendapatkan pasokan energi primer yang bersumber sebagian besar dari perusahaan energi milik negara seperti Pertamina dan PGN (Perusahaan Gas Negara). Maka dugaan praktek penyimpangan dapat terjadi pada proses penyediaan alokasi energi primer, kontrak penyediaan energi primer, dan memanipulasi skema subsidi karena lemahnya sistem pengawasan.

Bukan hanya pihak pemerintah, namun juga ada peran legislatif dalam konteks kewenangan dan tentu ada intervensi kekuatan politik dalam penentuan kebijakan di PLN yang mendorong terjadinya penyimpangan. Biasanya dalam memuluskan kebijakan pemerintah misalnya soal tarif PLN, oknum DPR tidak segan-segan meminta 'THR' atau 'uang terima kasih' sebagai bentuk suap.

Dalam pengadaan barang dan jasa, PLN biasanya menggunakan tender. Tender tersebut bisanya telah disediakan dalam katalog yang disediakan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Tender merupakan upaya yang dilakukan dalam membantu penyediaan barang yang dibutuhkan, seperti pembangunan infrastruktur terkait listrik, pembangunan jaringan, dan pasokan energi. Sedangkan pembangunan infrastruktur dan jaringan bukan hanya menggunakan anggaran internal PLN melainkan Anggaran Pendapatan belanja Negara (APBN). Penyimpangan pada kasus PLN memiliki modus yang berbeda-beda. Seperti halnya mark up yang terjadi pada proyek batu bara. Misalnya modus terjadi dalam mesin pembangkit yang idealnya diberikan batu bara kualitas pertama, namun dalam prakteknya karena lemahnya pengawasan dilapangan dan banyak faktor pendukung lainnya, batu bara yang diberikan hanya kualitas kedua atau ketiga. Jarang yang bisa mengontrol luasnya lahan batu bara yang siap di masukan ke dalam mesin pembangkit.

Dalam hal ini, pengadaan barang dan jasa tidak terlepas pada sistem e-procurement. Walaupun sistem tersebut dinilai merupakan bentuk transparasi pemerintah karena mudah diakses masyarakat. E-procurement dinilai sedikit membawa energi postif bagi PLN baik dalam desain kontrak, harga satuan, penentuan pemenang, dan surat terima barang. Namun pelaksanaan e-procurement seperti halnya yang dilakukan di PLN tidak sepenuhnya transparan. PLN masih belum dapat membuka kualitas barang-barang yang digunakan. Mindset 'tertutup' yang menempel di publik membuat masyarakat tidak terlalu mengatahui teknis di lapangan. Akibat selanjutnya adalah kurangnya partisipasi publik dalam pengawasan. Hal ini yang menyebabkan banyak proses penyimpangan terjadi.

Proses pelayanan dan distribusi energi listrik rentan akan pungli, suap, dan gratifikasi. Permasalahan tersebut dapat berimplikasi pada kualitas pelayanan publik energi listrik ke masyarakat. PLN yang memiliki tagline 'PLN bersih anti suap' belum dapat dipraktekan secara maksimal. Satu cantoh terjadi pada proyek 100 penyambungan baru dan menaikan daya, ternyata  masih berindikasi pungli dan suap yang dilakukan oleh pihak ke tiga (outsourcing).

Dari proyek pengadaan yang lebih besar seperti penyediaan gardu listrik dan penyediaan jaringan yang bersinggungan langsung dengan penyedia listrik swasta –bisa dalam skema dibeli atau disewa– . Di sini kerugian negara timbul akibat ketidakwajaran penjualan listrik dari pihak swasta ke PLN, serta berimplikasi pada kekuatan penghitungan tarif kepada pelanggan yang lebih tinggi.

Dari kasus-kasus korupsi yang telah terjadi di PLN mayoritas masih terkait dengan proses pengadaan barang, yakni peringat nomor satu. Modus yang sering terjadi adalah mark up. Penyimpangan dalam pengadaan barang, misalnya sudah diketahui pemenangnya saat tender baru dimulai. Serta terjadinya inschedul trending yang sudah diketahui lebih dulu oleh peserta tender tertentu karena ada konflik kepentingan.

Sebenarnya untuk menekan tingkat korupsi di PLN, sejak tahun 2012 telah di dampingi oleh Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) dalam program pengendalian gratifikasi. Bahkan KPK pernah menyarankan kepada institusi lain untuk melakukan studi banding ke PLN terkait pengendalian gratifikasi. Semenjak itu, proses gratifikasi di PLN mulai agak terkendali, walaupun tidak menjadi jaminan bahwa korupsi di PLN sudah tidak ada.


Peneraan GCG Belum Maksimal

Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah melakukan riset penerapan Good Coporate Govermance (GCG) di PLN. GCG merupakan sistem yang menjamin terpenuhinya kewajiban kepada shareholders, dan mampu bekerjasama dengan stakeholder dalam mencapai tujuan. PLN menerapkan GCG dengan tujuan diantaranya untuk memaksimalkan nilai PLN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab,dan adil agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat, secara nasional dan internasional. Kemudian juga mendorong pengelola PLN agar lebih profesional, transparan, dan efisien serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organisasi.

Terkait pelaksanaan GCG di PLN, Firdaus kembali menambahkan, secara program GCG, PLN berada di bawah naungan BUMN dan dilakukan penilaian oleh BPKP. Namun, dalam prakteknya apakah GCG sudah diterapkan secara baik dan benar? Jika iya,  seharusnya segala macam penyimpangan seperti korupsi, suap, gratifikasi tidak terjadi lagi. Hal tersebut harus menjadi perhatian pemerintah, karena itu jangan sampai GCG hanya sebatas 'etalase' program yang ala kadarnya.

GCG ialah bentuk komitmen yang seharusnya diterapkan dengan transparan dan akuntable. Jadi BUMN memiliki standar pelayanan yang baik dan terbuka. Tetapi karena ekosistem politik kekuasaan sangatlah kuat maka sulit dilakukan. Maka cara yang sederhana dalam melaksanakan GCG ialah BUMN menjadi perusahaan yang steril dari politik dan kekuasaan.

PLN sebagai badan usaha milik negara meskipun tanpa ada klausul tetap harus mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pemberhandaraan negaranya. Dalam praktek kerjanya, PLN memiliki banyak relasi mulai dari penyedia barang dan jasa, relasi antar kementerian dan lembaga, relasi parpol dan kekuasaan oknum tertentu yang menyebabkan penerapan GCG menjadi berat. Faktor lainnya, bagaimana posisi strategis di  BUMN seperti direksi diisi oleh orang yang relatif memiliki kedekatan investasi politik. Hal tersebut menghambat BUMN dalam mendapatkan keuntungan maksimal dan pelayanan terbaik bagi masyarakat.

Saat ini, PLN menerapkan proses GCG yang plus-plus, karena program tersebut didampingi oleh TII (Transparency International chapter Indonesia), sebuah NGO yang aktif mendorong transparansi di Indonesia. Sehingga cenderung capaian GCG relatif lebih maju dibandingkan BUMN lainnya. Namun tidak semua insitusi menerapkan GCG secara benar.

GCG juga bisa menjadi alat untuk memperbaiki pengelolaan BUMN. Sebagai contoh, jika sudah dilakukan GCG namun ada indikasi korupsi, maka subsidi dari pemerintah bisa dikurangi. Jika hal ini disosialisasikan dengan baik dan ditulis sebagai keharusan maka BUMN akan berlomba-lomba mendapatkan reward.

Menurut catatan ICW,  kurangnya penerapan GCG di BUMN seperti halnya di PLN bisa dalam bentuk minimnya keterbukaan perusahaan berupa pelaporan kinerja keuangan,  Buruknya pengelolaan perusahaan terutama bagi perusahaan yang belum go public, kurangnya pemberdayaan komisaris sebagai organ pengawasan terhadap aktivitas manajemen, dan ketidakmampuan akuntan dan auditor memberi kontribusi atas pengawasan keuangan perusahaan.


Kasus-Kasus Korupsi di PLN

Selama beberapa tahun belakangan ICW, mencatat beberapa kasus korupsi yang terjadi di PLN. Diantaranya adalah:

No

Kasus

Kerugian negara

1

kasus dugaan korupsi outsourcing pengelolaan sistem customer management system (CMS) PLN Jatim tahun 2004-2008 dan korupsi pengadaan software sistem aplikasi pelayanan pelanggan (Content Management System/CMS) pada 2004

Rp 175 miliar

2

Kasus dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pengadaan Customer Management System atau Rencana Induk Sistem Informasi CMS-RISI yang dilakukan pada 2000-2006 di PLN Pusat Jakarta-Tangerang. Kasus ini merupakan pengembangan dari kasus CMS di PLN Distribusi Jawa Timur. Kasus ini terjadi tahun 2001-2008.

Rp 26,1 miliar.

3

Dugaan korupsi pembangunan 21 gardu induk di Jawa-Bali dan Nusa Tenggara Barat. Kasus korupsi ini muncul karena Dirut PLN saat itu melanjutkan proyek untuk menghindari pemadaman bergiliran ketika lahanya belum dibebaskan.

Masih dalam perhitungan

4

Kasus dugaan korupsi proyek pengadaan bahan bakar minyak high speed diesel (HSD)

Rp 67 miliar

5

kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian pemberian tentiem (semacam bonus) kepada komisaris dan direksi PT PLN

Rp 186,2 miliar

6

kasus korupsi PT PLN ranting Sekandau Cabang Sanggau, Kalimantan Barat berupa pungutan saat PLN mencanangkan program pelaksanaan Gerakan Sejuta Sambungan Sehari pada 2010 di lingkungan PT PLN ranting Sekandau Sanggau. Mangarican pegawai PLN Sekadau memungut biaya penyambungan listrik melebihi biaya yang ditetapkan pemerintah serta meraup uang dari proyek tersebut sebesar Rp 1,2 miliar

Rp 1,2 miliar

7

Kasus suap terhadap Politisi PDIP Emir Moeis dari konsorsium Alsto Power Incorporate Amerika Serikat dengan Marubeni Incorporate Jepang sebesar US$ 357 ribu saat menjabat wakil Ketua Komisi Energi DPR

US$ 357 ribu

8

Korupsi dalam pengadaan/pekerjaan flame turbin pada pekerjaan Life Time extension (LTE) Mayor Overhauls Gas Turbine (GT-12) disektor Pembangkit Belawan-Sumatera Utara. Kasus ini menyeret mantan Manager PT PLN KITSU Sektor Belawan, Erwan Arief Budiman 

Rp 25 miliar

9

Kasus dugaan korupsi pembebasan lahan untuk pembangunan gardu induk PLN di wilayah Gresik, Jawa Timur

Rp 20 miliar


PLN Bebas KKN

Untuk menjaga akuntabilitas PLN, seharusnya jabatan strategis dan faktor pemimpin dalam hal ini direksi, komisaris, dan pengambilan kebijakan dapat diisi oleh mereka yang memiliki kompetensi, profesionalitas dan kemampuan mumpuni. Di luar itu, kedekatan dengan politikus atau bahkan kader partai bukan ide yang baik jika mengisi posisi direksi.

Akibatnya, jika jabatan strategis tersebut diisi oleh titipan partai atau bahkan tim sukses parpol tertentu maka di satu sisi dirinya akan menempatkan diri sebagai peraih keuntungan dan sisi lainnya akan berbicara meningkatkan layanan.

Terlebih PLN yang notabennya BUMN sektor energi, rawan menjadi sapi perah aparat penegak hukum dan juga politisi dan partai politik. Jika kasus korupsi tersebut tidak terselesaikan maka hal tersebut dapat menjadi bargaining politik tawar yang dapat dikriminalisasi.

Oleh karena itu, salah satu cara membebaskan PLN dan bisa bersih dari korupsi adalah dengan melanjutkan program BUMN bersih. Selanjutnya diiringi dengan sikap konsistensi, berkomitmen tinggi, komprehensif, serius, dan tegas.

Selain itu, pengendalian gratifikasi serta pelaporan harta kekayaan dari level senior sampai level bawah harus dilakukan agar tercipta budaya sehat dalam bekerja dan memberi pelayanan yang baik kepada masyarakat.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan