Kantor PT Alfindo Nusantara Perkasa yang Sunyi

Suasana kantor seukuran rumah toko 3 x 5 meter itu terasa sunyi. Semua lampu di dalam ruangan padam. Markas PT Alfindo Nuratama Perkasa di gedung Lippo, Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, tersebut sudah tutup saat Tempo bertandang pada Selasa siang lalu.

Sempat didapati dua pria keluar dari ruangan. Tapi mereka irit bicara ketika ditanya keberadaan Arifin Ahmad, Direktur Utama PT Alfindo. Seorang di antaranya hanya berucap, "Bapak pulang sekitar setengah sepuluh tadi. Biasanya kembali lagi sore nanti."

Ruang kerja perusahaan pemenang tender sejumlah proyek pemerintah ini tidaklah mentereng. Nyaris tak mencerminkan proyek bernilai miliar rupiah dikendalikan dari sini. Misalnya, proyek pembangkit listrik tenaga surya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi senilai Rp 8,9 miliar, yang dimenangi PT Alfindo.

Dalam pengerjaan proyek tersebut, PT Alfindo berkongsi dengan Neneng Sri Wahyuni, istri politikus Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Lantaran proyek ini diduga merugikan negara, Arifin harus menjalani pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai saksi.

Tak banyak perabotan di kantor PT Alfindo di lantai empat tersebut. Di ruang kerja utama hanya ada tiga meja dan dua sofa. Penyejuk udara pun tampak usang. Perusahaan ini bertetangga dengan dua perusahaan kontraktor.

Adapun rumah Arifin terletak di ujung Jalan Teratai RT 09 RW 10, Kembangan Utara, Jakarta Barat, melewati gang sempit. Rumahnya bertingkat dan berpagar besi. Kanopinya terpasang apik, cukup membedakannya dengan rumah di sekitarnya.

Kawasan ini juga dikenal sebagai kompleks Bima. Mungkin karena banyak warga yang berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat, yang tinggal di sana. Seorang tetangga Arifin bernama Nyoto, 42 tahun, mengatakan bos PT Alfindo itu terbilang warga yang cukup berada.

"Dia juga dermawan," ujar Simamora, 52 tahun, tetangga Arifin yang lain. Menurut Simamora, saban hari Arifin pulang di atas pukul 8 malam. Mobil yang dikendarainya berganti-ganti.

Via, yang mengaku putri sulung Arifin, mengatakan ayahnya berangkat kerja dengan Honda CR-V pada Selasa siang itu. Via tak mengetahui ihwal PT Alfindo yang dikelola ayahnya. Seorang perempuan paruh baya keluar dan menghampiri Tempo. Ia menegaskan Arifin tak bersedia diwawancarai wartawan. "Bapak tidak mau diwawancarai," ujarnya. IRA GUSLINA | DWI RIYANTO
----------------
PT Buana Masih Garap Proyek di Unair
Kendati sempat gagal menggaet proyek Kementerian Pendidikan Nasional di Universitas Airlangga, Surabaya, PT Buana Ramosari Gemilang masih bisa menyabet proyek di kampus itu. Perusahaan yang terkait dengan jaringan Muhammad Nazaruddin ini tercantum sebagai pemenang tender pengadaan peralatan kesehatan Rumah Sakit Tropik Infeksi Unair.

Berdasarkan data di laman layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) Kementerian Kesehatan pada 2010, lelang pengadaan peralatan kesehatan dan laboratorium itu dimenangi PT Buana. Nilai proyek tersebut sama dengan penawaran, yaitu Rp 38,8 miliar. Selain itu, PT Exartech Technologi Utama sukses menyabet tender senilai Rp 38,7 miliar.

PT Duta Graha Indah, yang salah satu petingginya, Muhammad el Idris, menjadi tersangka kasus suap wisma atlet di Palembang, juga memenangi tender pengadaan jasa pemborongan pembangunan gedung RS Tropik Infeksi Unair senilai Rp 97,8 miliar.

Menurut Direktur Sumber Daya Unair, Surabaya, Fendy Suhariadi, proses tender tersebut diatur oleh Kementerian Kesehatan. "Kami hanya terima hibah barang jadi," ujarnya kemarin. Dia menjelaskan, status rumah sakit tersebut belum jelas, masih dalam pembicaraan antara Unair dan Kementerian Kesehatan. "Kami tidak ada anggaran untuk mengoperasikan rumah sakit," kata Fendy.

Fendy juga membantah tudingan adanya permainan dalam lelang proyek peralatan kedokteran untuk Rumah Sakit Pendidikan Unair senilai Rp 99 miliar pada 2010. Bantahan ini merupakan hak jawab atas berita Koran Tempo edisi Kamis (7 Juli) berjudul "Proyek RS Unair Mencurigakan". "Saya bisa buktikan seluruh tender di rumah sakit ini transparan dan sudah diperiksa BPK. Hasilnya tidak ada masalah," ujarnya.

Rumah Sakit Pendidikan Unair diresmikan oleh Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh pada 14 Juni 2011. Dana pembangunan Rp 150 miliar dipecah menjadi Rp 100 miliar untuk alat kesehatan, Rp 40 miliar untuk pembangunan fisik, dan Rp 10 miliar untuk pembelian mebel.

Dari 12 perusahaan yang mengajukan penawaran, pemenangnya adalah PT Rajawali Nusindo dengan nilai proyek Rp 46 miliar dan PT Besindo Medi Prima Rp 39 miliar. Keduanya beralamat di Jakarta. "Kami bisa mengembalikan uang negara Rp 15 miliar," kata Fendy.

Kecurigaan adanya kongkalikong muncul setelah LPSE di Kementerian Pendidikan Nasional tak mencantumkan pemenangnya. Di situ hanya disebutkan proses tender proyek senilai Rp 99 miliar pada 2010 itu sudah selesai.

Lelang diikuti perusahaan, di antaranya, PT Buana Ramosari Gemilang dan PT Alfindo Nuratama Perkasa. Kedua perusahaan ini ada hubungannya dengan Nazaruddin. Makmur Mutari, Ketua Panitia Lelang Unair, mengaku tak tahu apakah dua perusahaan itu terkait dengan politikus Partai Demokrat, yang kini menjadi buron Komisi Pemberantasan Korupsi. "Silakan dicek sendiri."

Fendy menambahkan, lelang proyek melalui LPSE batal gara-gara data yang diunduh terlalu besar sehingga muncul masalah. Padahal batas waktu lelang 7 September 2010 sudah terlampaui. Kemudian lelang diulang dengan cara manual. Empat perusahaan peserta lelang yang datang adalah PT Rajawali Nusindo, PT Besindo Medi Prima, PT Ganarifa, dan PT Buana Ramosari Gemilang. Tapi PT Buana terlambat tiba sehingga dicoret. "Untung, dia telat. Kalau tidak dan menang, pasti kami kena getahnya," tutur Makmur. FATKHURROHMAN TAUFIQ | FEBRIYAN | JOBPIE S
Sumber: Koran Tempo, 8 Juli 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan