Akar Korupsi

Sebanyak 38 partai politik bulan lalu (25/2) menghadiri semacam deklarasi antikorupsi di kantor KPK. Niatnya mulia, menyamakan pesepsi KPK dan Parpol untuk menghadapi Pemilu 2009.

Tentang Korupsi, banyak poin dibicarakan, tapi agaknya satu hal terlupakan. Posisi Parpol sebagai salah satu bagian rentan dari “akar tunggang” korupsi Indonesia.

Beberapa kalangan menggunakan istilah Korupsi Politik untuk menjelaskan posisi parpol, kekuasaan dan modal sebagai tiga unsur yang berkelindan membajak fungsi Negara. Dari sudut pandang ini, secara teoritis agaknya Deklarasi rabu siang itu patut diragukan. Terutama jika ia sekedar menjadi alat legitimasi politik komitmen pemberantasan korupsi.

Menurut Indonesia Corruption Watch, tesis sederhana dari Korupsi Politik berangkat dari posisi aktor politik sebagai alat bagi kelompok bisnis untuk mempertahankan dan mengembangkan skala keuntungan. Di tataran praktek, persilangan kepentingan antara partai politik, pebisnis dan pemilik modal lah yang menjadi latar belakang tidak berjalannya fungsi Negara sebagai pelayan masyarakat.

Pada wilayah penegakan hukum, kita mengenal istilah “Mafia Peradilan”. Selain uang, alat yang digunakan untuk mempengaruhi keputusan adalah intervensi politik. Hal ini pun bahkan pernah diakui secara implisit oleh pimpinan dua Kekuasaan Kehakiman Indonesia. Bahwa, pengadilan sangat rentan dengan politisasi dan intervensi. Tujuannya sederhana, memastikan putusan tidak membahayakan aktor dan kader partai politik.

Catatan ICW tentang putusan bebas/lepas kasus korupsi di pengadilan umum dari tahun 2005-2008 memperjelas posisi tersebut. Dari 1421 terdakwa yang terpantau, vonis bebas/lepas diberikan untuk 659 orang. Persoalannya, lebih dari 700 terdakwa yang diproses merupakan kader-kader Parpol, baik yang duduk di DPR, DPRD ataupun pemerintahan daerah.

Di sektor eksekutif juga demikian. Sejumlah kebijakan negara cenderung potensial dibajak untuk menguntungkan kelompok bisnis tertentu. Dalam skandal BLBI, publik menjadi saksi bagaimana pemerintah justru memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) pada obligor bermasalah.

Khusus poin ini, dokumen ICW yang diolah dari Audit BPK No. 34G tahun 2006 menunjukkan, persentase utang belum lunas 5 obligor yang mengantongi SKL cukup signifikan, yakni hampir 70%. Apakah kebijakan tersebut disebabkan karena pebisnis terkait masuk salah satu daftar pemberi sumbangan dana politik? Tidak ada yang tau persis karena ketertutupan dan problematika audit dana kampanye masih terjadi.

Dengan demikian, mungkin hasil survey Global Corruption Barometer yang dirilis TI-Indonesia 3 tahun berturut-turut itu benar. Parlemen dan Partai Politik secara variatif selalu masuk pada 4 jajaran sektor terkorup dari tahun 2005 sampai 2007.

Tugas konstitusional
Potret diatas menjadi menarik jika dihubungkan dengan data Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Modal para kader parpol agar bisa duduk di Senayan untuk satu kursi mencapai Rp. 5 miliar. Ongkos politik sangat mahal. Padahal mereka lah yang diharapkan menjadi penyambung lidah, keresahan, tuntutan dan kepentingan rakyat di DPR-RI lima tahun kedepan.

Pada tataran praktis, pengelolaan keuangan partai politik, transparansi dan akuntabilitas sumbangan dana kampanye dinilai masih relatif buruk. Dan, struktur perundang-undangan politik pun tidak cukup memberikan sanksi yang kuat. Kejahatan seperti penerimaan dana diatas batas Rp. 1 sampai 4 miliar bahkan hanya diancam dengan penjara maksimal satu atau dua tahun pada Undang-undang nomor 2 tahun 2008.

Padahal sumber dari Korupsi Politik berawal dari pendanaan partai politik seperti ini. Tesisnya, arah kebijakan aktor parlemen sangat berhubungan dengan siapa yang mendanai dalam proses pemilihan mereka.

Oleh karena itu, dapat dikatakan para caleg akan berkompetisi dalam struktur hukum yang lemah, dan tingkat corruption opportunity yang tinggi. Dan, merekalah yang akan mengisi kursi parlemen. Sementara, dalam struktur ketatanegaraan Indonesia posisi ini sangat strategis dan penting.

Pasal 6A UUD 1945 yang kemudian dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi, misalnya. Pengusulan calon Presiden dan wakil presiden bahkan merupakan monopoli partai politik.

Demikian juga dengan parlemen. Pasca amandemen, DPR diberikan kewenangan yang sangat kuat. Mulai dari sekedar memberikan pertimbangan dalam pengangkatan duta dan konsul, memberikan grasi dan rehabilitasi, pembentukan undang-undang, hingga pengusulan pemberhentian Presiden. Termasuk bersama Presiden menyetujui perang dan perdamaian.

Pertanyaanya, apakah tesis dan kompleksitas masalah korupsi politik diatas dapat dijawab dengan seremonial deklarasi? Agaknya, tidak. Kalaupun KPK menyebutnya dengan strategi pencegahan, ia justru tidak akan efektif jika tidak didahului dengan pembacaan yang utuh tentang konstruksi Korupsi Politik. Dan, tulisan ini hendak menguraikan satu benang kusut akar korupsi di sektor politik.

Kalaupun ingin mensinergikan strategi pencegahan dan penindakan, ke depan KPK dinilai lebih baik fokus pada investigasi pendanaan partai politik dan memetakan jaringan aktor penyumbang caleg, parpol serta kelompok politik terkait. Kemudian, menganalisis praktek pencucian uang dan pensiasatan dana politik. Demikian demikian, dengan menggunakan kekuatan dan kredibilitas KPK dengan bekerjasama dengan lembaga seperti PPATK, maka Akar Korupsi tersebut dapat dipangkas. Dibongkar.

Strategi ini tentu akan lebih efektif mengawal Pemilu 2009 dibanding sekedar pose Deklarasi Anti Korupsi yang justru rentan dipolitisir.

Oleh FEBRI DIANSYAH, Peneliti Hukum, Anggota Badan Pekerja ICW

Tulisan ini disalin dari Kompas, 19 Maret 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan