Gedung Parlemen, (Mestinya) Simbol Perlawanan

Siapa duga maket plastik atap kubah hijau nan unik Gedung MPR/DPR/DPD di Senayan, Jakarta, diuji di kuali kue serabi yang diisi air panas. Setiap kali dicoba, selalu timbul keriput-keriput di bagian puncaknya. Merasa putus asa, Nurpontjo, arsitek pembuat maket itu, membelahnya dengan gergaji. Setelah dibelah dua, ia berharap keriput-keriput itu tak kelihatan sebelum dijadikan satu lagi.

Tapi, tak disangka Soejoedi Wirjoatmodjo, arsitek ITB pemimpin desain proyek itu yang terpaksa menjual mobilnya untuk biaya awal gambar dan maket itu, malah menemukan ide baru: dua atap. Ir Sutami, ahli struktur bangunan terkenal yang pemimpin proyek itu, memberi garansi, ”Tidak ada halangan teknis, bisa dikerjakan.” Sutami benar. Buktinya tetap kokoh ketika dinaiki ratusan mahasiswa saat reformasi tahun 1998, apalagi kalau hanya dinaiki aktor Pong Harjatmo untuk menuliskan kekecewaannya: ”jujur, adil, tegas”.

Kekuatan gedung parlemen itu boleh jadi karena spirit yang menjadi fondasi pembangunannya. Tidak hanya sebagai pembuktian kemampuan bangsa Indonesia di bidang konstruksi, tapi yang penting adalah spirit perlawanan pada kekuatan hegemonik (Old Established Forces/Oldefo). Presiden Soekarno membawa Indonesia sebagai kekuatan baru (New Emerging Forces/Nefo) yang menggagas tata dunia baru hingga menandingi PBB yang dianggap ditunggangi negara-negara kapitalis-imperialis.

Pada 8 Maret 1965 dengan Keppres No 48/1965, Soekarno memerintahkan pembangunan proyek political venues di Jakarta untuk tempat Conference New Emerging Forces (Conefo). Proyek politik itu bersanding dengan proyek sport venues Istora yang dibangun lebih dulu dalam rangka pesta olahraga bangsa-bangsa Asia, Asian Games.

Tujuan proyek itu ”untuk kepentingan konferensi-konferensi internasional di bidang politik dalam rangka penggalangan persatuan bangsa-bangsa, terutama negara-negara The New Emerging Forces”. Proyek itu di bawah Komando Pembangunan Proyek Conefo.

Pada mulanya kawasan itu seluas 72,8 hektar. Dalam perjalanan waktu, terbagi dalam empat subblok, yakni kompleks parlemen seluas 41,2 hektar, Manggala Wanabakti seluas 12,9 hektar, Taman Ria 11,2 hektar, dan kompleks TVRI berikut Graha Pemuda seluas 7,5 hektar. Sejak awal pula perancang gedung itu memerhatikan betul komposisi bangunan dan lanskap sekelilingnya. Tidak semua lahan dipenuhi bangunan. Dari 41,2 hektar, mungkin hanya 6,2 hektar yang ada bangunan.

Namun, tragedi 30 September 1965 membuyarkan proyek Conefo itu. Perbaikan gedung parlemen di kawasan Lapangan Banteng pun dihentikan. Lalu, di manakah gedung untuk parlemen? Di ibu kota Jakarta waktu itu, gedung yang representatif untuk parlemen tidak ada. Tak ada pilihan lain. Pada 9 November 1966, Ketua Presidium Kabinet Ampera Jenderal Soeharto memutuskan proyek Conefo itu menjadi ”rumah rakyat”.

Empat puluh lima tahun kemudian, ketika anggota DPR merencanakan gedung baru 36 lantai, melengkapi gedung berlantai 24 yang dibangun tahun 1993, turun hujan kritik. Sebab, gedung baru itu dinilai berlebihan dilengkapi fasilitas mewah sehingga anggaran melambung Rp 1,8 triliun yang lalu diturunkan jadi Rp 1,3 triliun.

Rakyat sedang susah, kemiskinan membelit, harga bahan pokok melambung, korupsi begitu telanjang seperti kasus Gayus Tambunan, tetapi wakil rakyat malah ingin membangun monumen sendiri. Apakah wakil rakyat tengah melawan rakyat? (SSD)
-------------------
Karyawan DPR Perlu Kolam Renang
Standar gedung tinggi memiliki penampungan air yang bisa difungsikan sebagai kolam renang atau dibiarkan jadi tempat penampungan air. Bila difungsikan kolam renang, 1.500 karyawan DPR bisa memanfaatkannya.

Hal itu dikatakan Ketua DPR Marzuki Alie menjawab pertanyaan wartawan di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (13/1). ”Kalau jadi sarana olahraga berenang, bisa dimanfaatkan 1.500 karyawan DPR dan keluarganya. Mereka juga perlu olahraga. Anggota DPR tidak perlu kolam renang, tapi karyawan DPR dan keluarganya perlu,” ujarnya.

Selain itu, kata Marzuki, membangun tempat penampungan air menjadi kolam renang tidak memerlukan biaya besar. Jika masyarakat tidak menghendaki, tempat penampungan air itu tidak akan difungsikan sebagai kolam renang.

Menurut Marzuki, rencana pembangunan gedung baru telah disetujui semua fraksi di DPR. Jadi, tidak ada masalah dalam pembangunan gedung itu, termasuk pengawasan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

”Saya perintahkan pembangunan gedung baru DPR diawasi Badan Pemeriksa Keuangan. Saya berani mempertanggungjawabkan dunia akhirat,” katanya.

Marzuki
mengupayakan biaya pembangunan gedung baru di bawah Rp 1 triliun dari rencana sebesar Rp 1,8 triliun dan kemudian turun lagi jadi Rp 1,3 triliun.

Marzuki menuturkan, fraksi yang menolak pembangunan gedung baru kemungkinan tidak membaca rencana strategis DPR 2010-2014 itu atau bermanuver untuk kepentingan politik.

Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Pius Lustrilanang di Jakarta, Kamis, kembali menegaskan, seluruh fraksi menyepakati rencana pembangunan gedung itu. Tidak ada satu fraksi pun yang menolak proses persetujuan dari awal.

Pembangunan gedung baru merupakan satu dari enam rencana strategis DPR yang disetujui dalam rapat paripurna, beberapa bulan yang lalu. ”Waktu rapat paripurna, tidak ada fraksi yang memberikan catatan. Semua setuju,” kata Pius.

Sementara itu, sejumlah penggiat gerakan masyarakat sipil kemarin mendatangi Fraksi Partai Gerindra untuk mendukung sikap fraksi itu yang pada Oktober 2010 dan 10 Januari 2011 telah mengirim surat penolakan pembangunan gedung baru DPR kepada pimpinan DPR.

Ray Rangkuti dari Lingkar Madani Indonesia menilai, dengan surat penolakan dari Fraksi Partai Gerindra, seharusnya gedung baru dibatalkan. Marzuki pernah menyatakan, pembangunan gedung baru DPR dibatalkan jika ada fraksi yang tak setuju. (WAD/NTA/NWO)
 
Sumber: Kompas, 14 januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan