Hapus DAU dan Usut Dugaan Korupsi Ibadah Haji

Pernyataan Pers Bersama

Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia merupakan salah satu usaha layanan konsumen yang sangat besar. Dengan jumlah jamaah lebih dari 200.000 orang (berdasarkan kuota 1/1000 penduduk muslim suatu negara) omset “bisnis” haji bisa mencapai Rp. 7 triliun setiap tahun. Belum ditambah dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Penyelenggaraan ibadah haji dianggap sebagai tugas nasional dan merupakan hak monopoli departemen agama. Alasan pemerintah, karena menyangkut ratusan ribu jamaah, melibatkan berbagai instansi di dalam maupun luar negeri. Selain itu, ibadah haji dilaksanakan di negara lain dengan waktu terbatas dan menyangkut nama baik dan martabat bangsa Indonesia di luar negeri.

 

Masalahnya, model pengelolaan yang monopolistik diikuti dengan ketertutupan dalam perencanaan maupun penggunaan anggaran. Karena itu, penyelenggaraan haji kerap diwarnai oleh praktek korupsi. Misalnya, dalam rentang tahun 2002 hingga 2005, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menemukan banyak penyimpangan yang berakibat negara dirugikan paling tidak senilai Rp. 700 milyar. 

 

Selain itu, suburnya praktek korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji antara lain ditunjukan oleh vonis penjara untuk mantan Menteri Agama, Said Agil Hussain Al-Munawar dan mantan Direktur jenderal bimbingan Islam dan penyelenggaran haji, Taufiq Kamil. Keduanya terbukti melakukan praktek korupsi.

 

Walau begitu, departemen agama masih belum serius memperbaiki tata kelola dalam penyelenggaraan ibadah haji. Potensi untuk melakukan praktek korupsi masih tetap terbuka. Pelayanan yang disediakan jamaah pun masih buruk. Ssetiap tahun masalah selalu muncul. Mulai dari kelaparan jamaah karena keterlambatan katering, transportasi yang tidak bagus, hingga pemondokan yang jauh dari Masjidil Haram.

 

Masalah Dalam Penyelenggaraan Haji

Ada beberapa masalah dalam penyelenggaraan ibadah haji;

 

1.      

Monopoli Departemen Agama

Dalam penyelenggaraan ibadah haji, departemen agama berperan sebagai regulator sekaligus eksekutor. Tumpang tindih peran menyulitkan peran publik untuk terlibat maupun melakukan kontrol. Depag bisa dengan sesuka hati membuat penganggaran dan menggunakanannya.

 

Sebagai contoh dalam pengelolaan Dana Abadi Umat. Menteri agama menjadi ketua Badan Pengelola DAU, sedangkan ketua badan pelaksanan adalah Dirjen Bimas Islam dan penyelenggaraan haji. Untuk badan pengawas diketuai oleh Sekretaris Jenderal Depag. Padahal dana yang dikelola dalam DAU jumlahnya sangat banyak.

 

2.      

Penghitungan Biaya Penerbangan

Penerbangan merupakan komponen biaya termahal dalam penyelenggaraan ibadah haji. Biaya Penerbangan Haji untuk Tahun 1429H/2008M, disusun berdasarkan asumsi harga ICP 120-130 $/bbls (juni-juli 08). Akan tetapi, harga minyak dunia terus turun. Pada Oktober 2008 harga rata-rata ICP turun menjadi 70,66 $/bbls dan November 2008 menjadi dibawah 60$/bbls. Artinya, patokan harga minyak/ICP yang digunakan sebagai acuan komponen biaya penerbangan sudah turun lebih dari 50%.

 

Dengan mempertimbangkan Penurunan biaya bahan bakar, yang kini (november – desember 2008) menjadi kurang dari 50% dari harga pada saat ditetapkan, maka akan berdampak pada penurunan biaya operasional penerbangan secara keseluruhan. Dalam hitungan Indonesia Corruption Watch, terjadi selisih (lebih) untuk biaya haji 1429H/2009 senilai 46,491 juta US$ atau setara dengan Rp.543,394 miliar.

 

3.      

Potensi Korupsi

Potensi korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji terjadi mulai dari proses penyusunan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, kontrak penerbangan, pengadaan-pengadaan seperti obat-obatan, katering dan penginapan untuk jamaah, serta penghitungan efesiensi dan penggunaan DAU.

 

Dalam laporan yang diberikan Indonesia Corruption Watch bersama Forum Reformasi Haji Indonesia, paling tidak ada dua masalah besar. Pertama, dugaan penyimpangan DAU tahun 2005 dan 2006, yang antara lain dipinjamkan untuk mengganti katering jamaah di Madinah, dipinjamkan untuk biaya penerbangan, saldo penyelenggaraan yang tidak disetorkan ke DAU.

 

Kedua, berkaitan dengan dugaan gratifikasi kepada oknum anggota DPR RI. Bentuknya ada dua, insentif dan transport pembahasan BPIH tahun 2006 senilai Rp. Rp. 495.424.000 serta biaya perjalanan dinas yang berasal dari dana BPIH Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji senilai USD 2.845.

 

Kesimpulan

1.      

Penyelenggaraan ibadah haji yang dimonopoli oleh Departemen Agama sangat tertutup dan tidak akuntabel.

2.      

Dana Abadi Umat sebagai dana taktis (non-budgeter) berpotensi kuat disalahgunakan dan tidak sesuai dengan tujuan awal

3.      

Potensi korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji pada tahun 2005 dan 2006 mencapai Rp. 100 milyar, berasal dari dugaan penyimpangan Dana Abadi Umat dan dugaan gratifikasi

 

Rekomendasi

Meminta Komisi Pemberantasan Korupsi

1.      

untuk menindaklanjuti dugaan penyimpangan dalam penyelenggaraan ibadah haji terutama dalam penggunaan Dana Abadi Umat dan dugaan gratifikasi kepada anggota DPR RI

2.      

memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menghapus Dana Abadi Umat. Nantinya penerimaan dari efesiensi penyelenggaraan ibadah haji dimasukan dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

 

Jakarta, 4 Desember 2008

 

Indonesia Corruption Watch – Forum Reformasi Haji Indonesia

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan